26 Desember 2008

Komisariat UIKA Gelar Diskusi Film Tragedi Jakarta 1998

Redaksi-, Kamis, 18 Desember 2008 bertempat di Ruang Kuliah 37 FT-UIKA HMI MPO Komisariat UIKA menggelar Diskusi Film: “Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia)”.

Gelaran yang dimulai jam 14.00 WIB ba’da Panitia Trainning Jurnalistik Dakwah (TJD) HMI MPO Komisariat UIKA melakukan rapat konsolidasi. Menurut Yazid, Ketua Pelaksana TJD, Trainning tersebut akan dilaksanakan tanggal 21-22 Februari 2009. Dan rapat selanjutnya akan dilaksanakan secara intensif hingga kegiatan ini terlaksana, paparnya ke Islam Bergerak (IB) di UIKA.

Diskusi Film yang diselenggarakan HMI MPO Komisariat UIKA ini merupakan bagian dari agenda-aksi kajian mingguan yang merupakan rutinitas kader. “ ini merupakan bagian dari proses perkaderan dan perjuangan HMI MPO Komisariat UIKA dalam membina mahasiswa menjadi insan ulil albab ” tandas Endri Somantri (ES) Ketua Umum Komisariat UIKA ke IB.

Selanjutnya ES memberikan penjelasan bahwa HMI MPO Komisariat UIKA kini telah melakukan perubahan paradigma gerakan menjadi radikal-intelektual berbeda dengan generasi sebelumnya dengan bangga.

Gelaran diskusi film yang dihadiri 35 kader, baik Angkatan Lebog (eks LK di Arimbi), Angkatan Pelopor, Angkatan Islam-Progresif, Bahkan Angkatan Telor diwakili oleh Kanda Salman Al Farisi yang akrab dengan dipanggil Bang Ewok “Sang Jawara Kampus” begitu antusias dengan kajian ini.

“Kajian seperti ini harus intensif dan wajib dimasifkan, wacana yang berkembang baik internasional, nasional maupun lokal kebogoran harus disikapi dengan paradigmatik bukan reaktif. Tapi kalo ada yang macam-macam dengan HMI MPO Komisariat UIKA, aing pangharepna, ruwab sia”, tandas Ewok ke IB.

Diskusi yang dimoderasi oleh Firman Wijaya (Mantan Ketua Umum HMI MPO Komisariat UIKA Periode 2004-2005 M) berjalan dengan menarik, bahkan beberapa peserta begitu emosional terbawa dengan alur film yang ditayangkan hingga menangis. “Secara pribadi saya sangat bangga dan memberikan standing ovation dengan militansi kader-kader HMI MPO UIKA, dengan kondisi yang marjinal, mereka tetap konsisten dengan cita dan misi suci HMI. Agenda aksi seperti ini merupakan bagian dari counter culture terhadap hegemoni gerakan mahasiswa UIKA yang semakin pragmatis dan hedonis, tandas Firman menutup ke IB. [ ] Ari Kocok

Islam itu Kiri dan Kiri itu Seksi

Oleh : Firman Wijaya *

“ Hendaknya ada diantara kamu sekelompok orang yang menyeru ke jalan pembebasan, menolak kepalsuan” (QS. Al Imran: 104)

Aneh, bahkan lucu bila ada mahasiswa apalagi yang mengaku aktifis pergerakan sangat alergi atau phobia disebut kiri. Karena yang phobia dengan term kiri itu hanya Orde Baru diatas dunia ini.

Memang seringkali term kiri selalu dikaitkan kepada mereka yang berideologikan materialisme-sekuler, sebut saja kaum komunis. Tapi pertanyaannya apakah benar kiri itu hanya political-claim untuk kaum komunis an sich.

Sebagai mahasiswa, das sollen memiliki tingkat kekritisan yang massive dalam mensikapi paradigma absurd atau “keblinger” ini, karena dianggap memiliki tingkat ketinggian dan kemerataan keilmuan (literate society). Kecuali kalau antum mahasiswa-mahasiswa “bodoh” atau mengutip term Mas Krisna-pelacur organisasi, atau aktifis organisasi warisan orde baru, sangat di mafhum.


Kiri Islam: Menuju Ridho Ilahi


Islam Kiri, mungkin sebagian mahasiswa wabil khusus yang mengaku dari gerakan Islam pasti kebingungan, dan balik tanya Islam ko’ kiri ?

Sebenarnya istilah “kiri-kanan” itu muncul pada abad ke-18 di Perancis. Istilah kiri ini untuk mengidentifikasi mereka yang kritis dan melawan kebijakan Rezim Monarki saat itu, sedangkan kanan adalah mereka yang mapan dan mendukung rezim. Kenapa disebut “kiri”, hal itu dikarenakan mereka yang anti rezim selalu diduduk disebelah kiri dalam setiap musyawarah.

Gerakan kiri Islam menemukan pijakan dan memiliki akar dalam khazanah intelektual Islam. Kenapa Islam melawan kemapanan keduniawian, karena zat yang paling mapan itu hanya Allah SWT, tidak zat yang paling mapan selain Dia, ini bersifat absolute (lihat QS. Al Ikhlas: 1).

Harus dibedakan gerakan kiri yang lahir dari materialisme (a non genesis theory), yaitu kiri yang dapat dibedakan menjadi dua, kiri-marxian disebut komunisme dan kiri non Marxian, berwajah populisme. Sedangan gerakan yang menjadi pijakan kiri Islam adalah spiritualisme (a genesis theory). Disini jelas bahwa kiri Islam sangat menyadari keterlibatan agama dalam aksi perlawanan terhadap rezim tidak seperti komunisme. Agama yang dianggap candu oleh Karl Marx sebenarnya merupakan ladang nilai-nilai yang secara konseptual memberikan pijakan gerakan pembebasan dan humanisasi.

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu ‘Alaihisalam, didalam Nahjul Balaghah bisa dijadikan literature pijakan bahwa Islam itu kiri atau melawan kemapanan,

Rakyat dimata Imam Ali AS., memang menjadi sentral kepeduliannya sebagai khalifah. Ia menegaskan bahwa :

“Sungguh besar kesengsaraan orang kelak dihadapan Allah menjadi lawan kaum yang dicengkeram kepapaan, kaum fakir miskin dan pengemis, orang yang tertindas, yang terjerumus hutang dan pengungsi yang terlunta-lunta dari tempat kedamainnya”.

Selanjutnya Hasan Hanafi dalam al yassar al Islami, menegaskan bahwa gerakan kiri Islam memiliki derivasi membebaskan, mencerahkan, kritis, plural, emansipatoris, dan demokratis.

Dalam Q.S. Al Qashas: 5 secara tegas Allah SWT. berfirman bahwa Allah menjanjikan alam dunia ini untuk orang-orang tertindas.

Kiri itu Seksi: Ideologi Operatif Melawan Rezim Despotis

Gerakan perlawanan terhadap rezim despotis bertujuan, meminjam term Marx-alienasi-, adalah mengeluarkan manusia dari proses alienasi dalam kehidupan.

Ashgar Ali Engineer menegaskan bahwa gerakan kiri Islam berangkat dari filosofis membela Tuhan menuju membela manusia. Disini jelas bahwa agama tidak hanya diletakkan pada konteks metafisika-filosofis, tapi juga digunakan sebagai pisau analisa kritis realitas sosial yang eksis. Kesadaran beragama seperti ini kemudian muncul dengan istilah liberation theology.

Kesimpulannya jika kita merasa sebagai muslim tapi belum mau membela saudara-saudaranya yang lemah dan dipinggirkan secara sistemik lebih baik jangan mengaku muslim. Selanjutnya kalau mahasiswa Islam tidak mau melawan kemapanan rezim atau malah jadi “anjing-anjing” kapitalis-birokrat (kabir) lebih baik pakai “rok mini”.

Kader HMI MPO Komisariat UIKA haruslah menjadi mujahid pembela panji-panji Islam. Ideologi komisariat “melawan atau diam tertindas” haruslah direproduksi secara massif dan progresif-revolusioner dalam meng-counter hegemoni baik di kampus, lokal kebogoran, maupun rezim nasional saat ini. HMI MPO di UIKA lahir dari suasana yang menindas mahasiswa saat itu, terutama Rektorat dan Rezim Mahasiswa UIKA yang didominasi organisasi ekstra kampus reaksioner sisa-sisa Orba. Sehingga kader HMI MPO UIKA Melawan sebagai suatu kewajiban kifayah. Kader HMI MPO UIKA tidak melawan lebih baik pakai “handuk” kuliah.

Gerakan kiri itu seksi karena selalu anti kemapanan dan progresif dalam melawan kezaliman. Mahasiswa ‘nggak kiri lebih baik kelaut aje-mancing-, mengutip term, kanda Riemay.Wallahu a’ bissowab [ ]

* Mantan Ketua Umum HMI MPO Komisariat UIKA Cabang Bogor Periode 2004-2005 M

Kembalikan Kampus UIKA Sebagai Basis Perlawanan Mahasiswa Bukan Tempat “Mejeng”

Redaksi-, Gerakan mahasiswa pasca Reformasi 1998 mengalami polarisasi yang sangat akut. Menurut beberapa Pengamat Politik Bogor, salah satunya Mas Krisna, Mantan Ketua HMI MPO Komisariat UIKA Bidang PTK Periode 2004-2005 M, yang kini menjadi instruktur fitnes dan aerobik bahwa : “ gerakan mahasiswa tidak memiliki isu populis dan bergerak dengan agenda aksi yang sektarian, begitu juga dengan gerakan mahasiswa UIKA yang mengalami degradasi ”, tandasnya kepada IB.

Analisa yang cukup menarik bila dikorelasikan dengan fenomena eksistensi gerakan mahasiswa UIKA kontemporer yang “melehoy”.

UIKA yang berdiri tahun 1961 berdasarkan SK. No. 31/DPP/1961 tanggal 23 April 1961 yang dikeluarkan oleh para pendiri, diantaranya KH. Sholeh Iskandar (alm) yang diabadikan sebagai nama jalan didepan kampus. UIKA adalah kampus tertua di Bogor. UIKA sebagai Kampus Islam adalah simbol perlawanan terhadap Rezim Orde Baru konteks perguruan tinggi. Diakhir 80-an UIKA merupakan tempat berkumpulnya intelektual-intelektual Islam progresif, bahkan aktifis-aktifis HMI MPO (red: bisa dibilang penampungan aktifis HMI MPO) yang konsisten dengan Asas Islam.
Gerakan usrah-usrah, tarbiyah, halaqah dan kajian-kajian marak dilakukan mahasiswa-mahasiswa periode 1980-an hingga menjelang reformasi bahkan hingga akhir Rezim Gus Dur lengser. UIKA adalah basis perlawanan mahasiswa. Gerakan mahasiswa UIKA bisa menjadi barometer gerakan mahasiswa di Bogor. Tapi kini kampus UIKA hanya dijadikan ajang “mejeng” atau sebatas badko alias “badan kongkow-kongkow”.

Idealitas sebagai agent of change, “jauh api dari panggang”. Aktifitas mahasiswa yang monoton dan jauh dari kreatifitas. Dus UIKA hanya melahirkan sarjana-sarjana, mengutip term Soe Hok Gie-sekrup-sekrup kapitalisme. Salah siapa ? Atau bahkan kader-kader HMI bagian mereka yang giat “mejeng” dikampus daripada kajian.[ ] mang ade

24 September 2008

Agus Salim Sitompul : Saya Tidak Mengakui HMI MPO ..



"Wahai Kakekku Cucumu tidak perlu pengakuanmu apalagi Orde Baru, karena kami hanya butuh pengakuan Allah SWT. dan Rakyat Indonesia" (Firman Wijaya)


Bagi kalangan HMI (MPO), Agus Salim Sitompul dikenal sebagai orang yang tidak bersahabat. Mantan ketua umum HMI Cabang Jogjakarta 1968-1969 ini sangat keras menentang kehadiran HMI (MPO). “Saya memang tidak mengakui keberadaan HMI (MPO),” ujarnya.

Julukan sejarawan HMI melekat bagi guru besar di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini. Skripsi sampai desertasi doktoralnya tentang HMI. Dua belas buku ia tulis selama 45 tahun keberadaannya di organisasi yang didirikan Lafran Pane tersebut. Semua tentang HMI!! Sebuah tanda cinta sekaligus menjadi ruang kritik untuk organisasi yang begitu dihayati kepemilikannya. Namun, kenapa ia tidak mengakui HMI (MPO)? Padahal sejarah membuktikan perpecahan HMI adalah kenyataan historis yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan, konon, saking tidak sukanya terhadap HMI (MPO), ia mempersulit studi mahasiswa yang menjadi kader HMI (MPO) di kampusnya. Tapi, dia tegas membantah. “Tidak benar itu. Fitnah sama sekali. Hadapkan kepada saya orangnya”.
Bagi pengarang buku “44 Indikator Kemunduran HMI” ini, kader HMI MPO juga keterlaluan saat menyikapi perbedaan ketika perpecahan. “Masa anak saya dinamai Astung (asas tunggal). Dan, saya dikatakan halal dibunuh karena menerima asas tunggal,” ungkapnya sembari mengingat masa lalu. Agus Salim Sitompul mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan anak-anak HMI MPO selama ini. “Terus terang saja tidak ada komunikasi. Tertutup. Padahal saya siap kalau diajak berdialog. Siapa yang tidak mau diajak ngomong, kalau baik-baik,” tuturnya.

Apa pandangan Agus Salim Sitompul tentang HMI (MPO) sebenarnya? Bagaimana ia menafsirkan perpecahan HMI di pertengahan tahun 1980-an? Bagaimana ia memaknai peristiwa Palembang dan harapannya tentang islah HMI? Di sekretariat nasional KAHMI Presidensial, kepada wartawan HMINEWS.COM, Trisno Suhito, ia memberikan perspektifnya.

Bagaimana pandangan anda soal islah dua HMI, termasuk peristiwa di Palembang kemarin?

Islah dua HMI itu sangat-sangat diperlukan, kapan dan dimanapun. Bagi saya, islah itu sudah sangat terlambat, sebab sudah 22 tahun. Saya sudah beberapa kali berdialog juga dengan HMI (MPO). Mereka mengatakan berproses Bang. Masa proses 22 tahun tidak selesai. Terlalu lama 22 tahun sejak didirikannya (MPO), 15 Maret 1986. Dari situ, ya saya katakan terlambat. Mestinya paling lambat pada waktu HMI kembali ke Islam, pada Kongres HMI ke 22 di Jambi, Desember 1999. Karena dengan kembalinya HMI ke dasar Islam, maka fungsi kontrol dari MPO itu sudah berakhir. Karena yang diminta mereka khan sudah kembali ke Islam. Ini kembali ke Islam, ko belum, apa yang ditunggu, khan sudah tidak ada perbedaan.

Masalah islah itu juga pernah dibicarakan. Sudah mau tanda tangan ketika kongres HMI, bulan Agustus 1997, di Jogja saat terpilihnya Anas Urbaningrum. Tinggal tanda tangan. Tiba-tiba teman-teman HMI (MPO) menarik diri dengan alasan aparat HMI (MPO) di bawah belum siap menerima islah. Kemudian diusahakan beberapa kali oleh Pak Achmad Tirtosudiro, Pak Bedu Amang dan lain lain, tidak berhasil, terutama setelah kongres ke 22 HMI di Jambi.

Namun walau kita terlambat 22 tahun, kita sambut peristiwa islah di Palembang kemarin. Nah, sekarang bagaimana ini secara teknis ditindaklanjuti dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Yang ditanda tangani di Palembang kemarin sesuatu yang positif. Semua orang menyambut dan itu didambakan untuk segera HMI bersatu agar persatuan dan kesatuan itu terwujud agar kekuatan HMI pulih kembali. HMI sekarang ini secara keseluruhan lemah. Mengapa tidak bersatu.

Apa yang anda harapkan dari proses islah dua HMI?

Saya katakan islah HMI itu terlambat. Sebenarnya permasalahan ini memang pelik karena permasalahan nasional. Mestinya teman-teman HMI MPO memahami. HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dulu memang aspek politiknya memang sangat–sangat besar. Kemudian dilihat dari HMI yang berstatus sebagai pemersatu kok pecah. Semestinya khan dia mempersatukan. Karena potensi mahasiswa itu khan sangat besar. Kalau potensi itu tidak pelihara, ya kita rugi. Apalagi kalau dilihat dari persatuan umat. Kita yang mendambakan sebagai pemersatu umat sendiri, kenapa pecah. Mestinya khan bersatu. Hal-hal yang bersifat politis, teknis mestinya bisa dibicarakan di meja perundingan atau meja musyawarah.

Jika HMI tidak bersatu kembali jelas rugi. Sebab harapan kebangkitan Islam sekarang ini, kalau tidak dari Indonesia, dari Pakistan. Coba kalau bersatu, kita akan kuat. Kita masuk ke semua, eksekutif, legeslatif,yudikatif macam-macam membina masa depan. Kalau bersatu luar biasa. Kita begini saja masih ditakuti, apalagi kalau bersatu.

Sekarang ini, di alumni-alumni senior, HMI MPO dianggap pemecah belah umat. Dalam konteks apa pun HMI MPO adalah pemecah belah umat. HMI MPO pemecah belah tanpa dasar. Sekarang HMI (DIPO) khan sudah kembali ke Islam kenapa tidak mau bersatu. Apalagi yang dipersoalkan, sudah sama-sama.

Amien Rais yang dulu juga sepakat dengan MPO dan mendukung MPO, sekarang tidak. Setelah reformasi dia katakan, HMI MPO merasa benar sendiri. Dia bilang begitu. Maksudnya benar sendiri, karena tidak mau bersatu. Apalagi yang ditunggu, sudah sama-sama, mari bersatu. Saya tahu betul wataknya dia karena dia teman satu kamar saya dulu. Dia pengurus cabang sebagai seksi kader LDMI tahun 1965-66 cabang Jogja.

Ada anggapan alumni punya kepentingan politik praktis dengan ‘menjual’ isu islah ini, termasuk di setiap moment menjelan Pemilu?

Itu isapan jempol saja. Gimana akan kita bolehkan orang menjual HMI. Dan, kepada siapa akan dijual. Jika itu terjadi kita sebagai alumni akan berontak. Sepanjang pengamatan saya, HMI tidak pernah dijual. Independensi itu dipegang teguh. Selama 60 tahun, independensi HMI itu insya allah terjaga, belum tergeser. Termasuk waktu jaya-jayanya Masyumi, ketika muncul Golkar dan PPP, tidak ada itu.

Alumni yang ingin HMI bersatu, dibangun dari ketulusan untuk kepentingan jangka panjang ke depan. Tidak mungkin untuk kepentingan politik praktis. Jauh. Apalagi untuk kepentingan pemilu 2009. Tidak mungkin.

Bagaimana sebenarnya pandangan anda terhadap HMI MPO?

Tidak benar. Tidak benar sama sekali. Secara hukum ketatanegaraan dan hukum (konstitusi) HMI, itu tidak diatur. Khan tidak diatur. Tapi dia ada. De facto ada, tidak bisa dibantah. Tapi de yure tidak ada. Pandangan saya tidak berubah, dari dulu sampai sekarang. Kita harus berbicara hukum sebab aturan main khan itu. Kalau tidak itu, apa yang kita jadikan rule of game nya, yang mengatur organisani ini. Ya itulah ukuran. Ukuran yang orisinil.

Berlandaskan hukum yang berlaku di Indonesia, dengan UU No. 8 tahun 1985, dimana semua partai dan organisasi harus didasarkan Pancasila dari situ HMI MPO sudah bertentangan, terlepas anda menerima atau tidak. Tapi dari segi hukum, itu adalah syah. Syah oleh DPR dan syah secara hukum. Secara konstitusi HMI, MPO itu tidak di atur dalam Anggaran Dasar. Secara dua hukum ini, bagi HMI DIPO, alumni, saya termasuk, memang secara de yure dianggap HMI MPO itu tidak ada. Memang secara de facto ada, tapi secara hukum tidak ada. Karena bagaimanapun, kita khan negara hukum, harus dijunjung tinggi.

Karena tidak mengakui HMI MPO, Anda disebut-sebut sampai mempersulit mahasiswa yang aktif di HMI MPO dalam proses perkuliahan. Seperti nilai dan skripsi mereka. Benarkah?

Tidak ada itu. Bohong itu. Hadapkan sama saya orangnya. Tidak ada itu mempersulit soal akademis. Itu memojokan saya. Bohong, fitnah sama sekali. Saya tidak ambil pusing, apa itu HMI MPO, apa itu HMI DIPO kalau tidak beres kuliahnya ya tidak saya luluskan. Tidak ada yang saya persulit. Coba siapa yang bilang. Mahlani (mantan Ketua Umum HMI MPO Jogja-red), tanya dia apa ya saya persulit. Saya yang membimbing. Malah saya bantu, saya kasih data-data. Khan lulus juga. Tidak ada itu. Fitnah belaka. Saya tidak pernah membedakan HMI MPO, HMI DIPO, PMII, tidak ada yang dibedakan.

Saya di kampus itu khan bukan diangkat HMI. Tapi diangkat negara. Kalau saya diangkat HMI, bolehlah saya istimewakan. Tapi, saya ini khan pegawai, diangkat, disumpah. Saya memang disiplin karena pekerjaan saya banyak. Tidak ada sentimen karena HMI MPO. Coba bawa saja kesini orangnya yang mengatakan itu. Hadapkan kepada saya, kapan kejadiannya. Saya kira tidak berani, karena itu fitnah dan bohong.

Jadi, tidak benar karena anda tidak mengakui HMI (MPO, lalu seakan membuat kebencian terhadap mereka yang aktif di HMI MPO?

Saya bersedia kapan dan dimanapun saja dipertemukan. Hadapkan orangnya sama saya. Saya jamin mereka tidak akan berani. Kalau memang nilanya jelek ya gimana lagi. Saya tidak membedakan. Ini menyangkut akademis. Tidak ada dendam di saya. Anak PMII betapa jahatnya ke saya, saya tidak dendam. Tapi objektif, kalau mau nilainya bagus, tapi tidak pernah hadir kuliah, berarti khan tidak menghormati saya. Kalau mau diberiakn nilai A atau B, ya nanti dulu. Itu saja ukurannya. Tidak ada yang lain.

Sikap saya memang terus terang tidak bisa menerima keberadaan MPO. Maunya mereka saya akui.Tidak bisa, karena ini menyangkut masalah mendasar. Itulah mereka sentimen ke saya. Kalau kegiatannya jelas, saya lebih berpihak ke HMI DIPO. Ada yang mengatakan Agus Salim menerima Pancasila untuk kepentingan pribadi. Karena dia pegawai negeri. Bukan karena itu. Saya ada korannya.

Tapi yang paling sedih saat itu perlakuan dari kader MPO. Dia mengatakan, halal darahnya Agus Salim dibunuh karena menerima Pancasila. Ini khan sudah beralih dari politik ke aqidah. Anak saya diberi nama Astung (asas tunggal-red) oleh anak HMI MPO. Dia datang ke rumah, entah apa urusannya saya lupa. Terus anak saya dipegang, kata ibunya (istri Agus Salim Sitompul yang menemui-red), dia mengatakan; ini anak ibu yang namanya astung, asas tunggal. Begitu coba. Orang tua, guru, dosen diperlakukan begitu gimana.

Tapi saya tidak dendam. Saya bukan orang pendendam. Mestinya mereka kalau mereka mau berdialog dengan saya, tidak ada masalah. Itu pengurus cabang, namanya Hanani Nasih ada di IAIN. Sampai sekarang tidak ngomong dengan saya selama 22 tahun. Malah dengan Egi Sujana, Tamsil, Choeron saya baik.

Di Jogja saya pernah diminta mengisi LK II oleh HMI (MPO). Saya semangat diberi kesempatan ada waktu untuk berdialog. Tapi saya dipatok dengan waktu itu. Harus tanggal ini, hari itu, jam ini. Saya khan juga bukan orang nganggur. Saya tawar rubah lah satu hari, saya memberi kuliah. Saya tidak bisa meninggalkan kuliah. Saya utamakan kuliah itu. Tapi katanya itu penentuan dari panitia. Tapi, masa panitia tidak bisa menggeser waktu, kalau memang saya diperlukan. Kalau tidak bisa menggeser, ya saya tidak bisa menggeser kuliah. Saya sangat disiplin soal kuliah. Kuliah tidak bisa saya tinggal. Terlambat setengah jam saja tidak bisa masuk.

Bagaimana bisa, apalagi datangnya undangan mendadak. Kalau tidak mendadak khan bisa saya ganti waktu kuliah atau saya undur. Tapi mereka minta harus hari ini, jam ini. Akhirnya tidak jadi di tahun 1980-an. Akhirnya dari situ tidak pernah berdialog lagi. Terus terang saja saya tidak ada komunikasi. Tertutup. Siapa yang tidak mau diajak ngomong kalau baik-baik. Saya pendidik, harus memberi contoh, walaupun ada perbedaan pendapat.

Pernah suatu waktu ada anak HMI MPO minta ijin training dan tidak mengikuti kuliah. Saya tidak ijinkan. Anda merusak jadwal. Saya memang tidak ijinkan. Bukan hanya anak HMI MPO. Bagi saya jangan mengganggu akademik. Adakanlah kegiatan di luar jadwal kuliah.
Sebagai sejarawan anda tidak mengakui keberadaan HMI (MPO). Bagaimana sebenarnya perspektif anda tentang sejarah perpecahan HMI?

Persoalan politik saat Orde Baru, HMI sendirian tidak sanggup menolak Pancasila. Semua khan menerima saat itu. Maka, HMI harus pandai-pandai bermain politik, supaya tidak tergilas oleh politik. Coba kalau tidak menerima, HMI ya bubar. Mengapa HMI MPO tidak dibubarkan, itulah kejahatan politik dari Soeharto yang besar terhadap HMI. HMI itu diadu domba. Mestinya HMI MPO itu khan bubar secara hukum. Karena semua sudah berdasarkan Pancasila.

Itulah kita diadu domba oleh Seoharto. Jadi HMI yang besar itu dia pecah, biar kecil, biar kerdil dan mudah dihadapi. Itulah barangkali yang harus dipahami teman-teman. Jadi kita menerima Pancasila itu taktis. Strateginya itu HMI biar selamat. Buktinya, secara akidah kita tetap Islam.

Sekali lagi, HMI menerima Pancasila itu taktis. Yang dijelaskan dalam NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan), itu khan Islam sebagai dasar HMI. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, mestinya NDP itu diganti dengan Nilai Identitas Kader (NIK). Maka yang dijelaskan disitu mestinya Pancasila sebagai dasar HMI. Tapi tidak demikian, yang dijelaskan di NIK itu setelah dirubah di Kongres Padang, tetap Islam sebagai dasar HMI. Tidak berubah, satu kata pun tidak. Hanya namanya saja yang dirubah.

Kemudian, apa buktinya HMI tetap Islam. Maka kongres di Padang itu menambah satu pasal dalam anggaran dasar HMI, yaitu pasal 3 tentang identitas. Identitas HMI adalah HMI menghimpun mahasiswa-mahasiswa yang beragama Islam yang melaksanakan Al Qur’an dan Hadits. Pertanyaannya apakah ada Islam di luar Al Qur’an dan Hadits? Ya tidak ada. Karena tidak ada Islam di luar Al Qur’an dan Hadist, maka identitas HMI, ya Islam.

Dari kata-kata identitas itulah, dari Pasal 3 dijadikan menjadi NIK. Memang secara politis HMI berdasarkan Pancasila, jelas tercantum. Tapi secara akidah tetap Islam. Karena menurut pandangan HMI DIPO itu, Pancasila adalah satu-satunya asas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beragama tidak diatur oleh Pancasila. Bagimana sholat dan puasa ya tidak diatur. Biarlah kita terima itu dulu sebagai taktik.
Nanti suatu waktu itu berubah, ya kita rubah lagi. Nah ini khan disini terbukti. Kita menerima Pancasila menerima sebagai taktik. Kalau di Padang dasarnya dirubah dari Islam menjadi Pancasila. NDP diganti NIK. Walaupun dalam NIK tetap Islam. Setelah reformasi, dirubah kembali. Dasar HMI dari Pancasila menjadi Islam. NIK diganti lagi menjadi NDP, dimana di situ dijelaskan sebagai dasar HMI.

Saat itu banyak pihak di HMI menolak penerapan asas tunggal Pancasila. Penerimaan Pancasila dianggap karena beberapa elite di HMI terkooptasi kekuasaan sehingga tidak sanggup mempertahankan independensi HMI?

Kita dulu berpikir, Pancasila sebagai satu-satunya asas akan diterapkan.Tidak ada salahnya HMI mempelopori penerimaan Pancasila sebagai taktik. Asas itu diganti, taktik saja. Strateginya HMI itu tidak bubar. Itu yang paling mendasar.

Memang target pemerintahan Orde Baru hanyalah HMI agar pecah saja. Maka MPO dibiarkan hidup. Dulu pernah ada permintaan dari kita ke pemerintah melalui Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) LB Moerdani, supaya gerakan HMI MPO ditindak, karena illegal dan bertentangan dengan undang-undang. Jawabannya mereka, itu khan urusan internal HMI. Untuk apa pemerintah ikut campur. Itu jawaban Moerdani. Maka yang paling dibanggakan MPO adalah walaupun illegal, tetapi boleh bergerak dan tidak ditindak. Itu yang paling dibanggakan. Ya karena sikap pemerintah itu. Sebenarnya target pemerintah hanyalah agar HMI pecah sehingga kekuatan kita lemah.

Ini yang sering saya katakan, kurang disadari teman-teman HMI MPO. Kita diadu domba biar kerdil. Penerimaan Pancasila itu hanya taktik. Pada akhirnya rezim akan berubah. Sebab kalau bubar, itu ruginya luar biasa. Atau kita pura-pura tidur, tiarap seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Itu ruginya juga luar biasa.

PII tidak menerima, tidak menolak, tidak pernah menyatakan. Tapi dengan dia tiarap itu, sekolah-sekolah PII habis sampai sekarang, tidak bisa dibangun. Awalnya tidak ada ketegasan, tapi akhirnya PII menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di muktamar di Bogor. Tapi sudah babak belur. Akhirnya sampai sekarang sulit bangkit. Itu beberapa perhitungan. Coba kalau HMI seperti itu. Membangunya sulit luar biasa.

HMI itu khan alat perjuangan. Tanpa alat kita tidak bisa berbuat. Lha kalau dibubarkan, apa alat kita untuk berjuang. Ya kita pelihara ini sampai situasinya mereda. Kita yakin ini akan mereda. Reformasi datang, ya kita rubah. HMI tidak kuat menolak sendirian saat itu.

Tapi, bukankah penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi menunjukan HMI kehilangan watak independensinya karena mengikuti apa yang diperintahkan penguasa?

Saya sangat setuju dan mendukung sepenuhnya apabila HMI mampu mempertahankan Islam sebagai dasar organisasi. Tapi menurut saya, melihat situasi tidak mungkin dipertahankan pada masa orde baru. Pemerintah tidak mau. Pada waktu diktatornya saat itu, tidak ada yang berani dan mampu melawan dan bisa menang. Apalagi sedang represif-represifnya. Melihat ini kita ya harus pandai-pandai bermain politik, karena saat itu tidak ada yang bisa melawan dia.Kita main taktik saja. Buktinya taktik, kita kembali ke Islam setelah Seoharto turun. Kalau strategi, itu tidak bisa berubah. Kalau penerimaan Pancasila itu strategi, ya Pancasila harga mati, tidak bisa dirubah. Tapi karena ini taktik, ya kita rubah melihat situasi. Dalam rangka penyelamatan alat saja saat itu.

Pancasila itu khan dasar dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Apa salahnya kita terima hanya dalam bermasyarakat dan berbangsa. Dalam Pancasila khan tidak diatur tentang sholat, mengenai macam-macam. Tergantung kita mengisi Pancasila. Maka ada memori penjelasan tentang penerimaan Pancasila. Walaupun didasarkan Pancasila, tetapi dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari tetap Islam. Tidak ada perubahan sebelum dan sesudah menerima Pancasila.

Setelah HMI terpecah menjadi dua, HMI (DIPO) dan alumni yang mendukung lebih kental nuansa politik praktisnya, seakan mendapat kemudahan dari pemerintah, termasuk akses kekuasaan. Apakah itu efek dari penerimaan Pancasila dimana kondisi sebaliknya justru dialami HMI (MPO)?

Terlalu subjektif saya kira, walaupun harus diakui syahwat politiknya tinggi. HMI MPO juga politis. Saya kira banyak wilayah politik yang HMI MPO berbicara. Karena kita adalah organisasi perjuangan untuk merubah suatu kondisi buruk menuju yang baik. Dan salah satu alat perjuangan adalah politik. Tidak bisa kita tinggalkan. Itu salah satu alat perjuangan.
Berbicara kekuasaaan, di sini kita harus hati-hati. Kekuasaan itu satu hal yang sangat mendasar. Kalau kita tidak masuk ke kekuasaan, eksekutif dan lain-lain itu, justru akan dimanfaatkan orang lain. Karena Pancasila itu khan ideologi terbuka. Ya, daripada dimanfaatkan orang, kita manfaatkan, kita isi dengan perjuangan kita.

Saya umpamakan zaman dulu. Ada Natsir, PKI dan Bung Karno. Dulu Natsir-Masyumi dan Bung Karno itu sangat dekat, lengket kaya perangko. Sementara Natsir –Bung Karno dekat, PKI tidak berani mendekat. PKI menjauh. Tapi tatkala ada perbedaan antara Natsir-Masyumi dengan Soekarno, PKI mendekat, sampai G30 SPKI. Habis dilalap Soekarno. Maka kekuasaan itu tidak boleh kita tinggal. Kalau perlu semua kekuasaan itu kita pegang dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
Maka ketika dulu Yusril Ihza Mahendra bertanya suatu saat, gimana Bang apa saya perlu mundur dari kabinet karena tidak cocok dengan Gus Dur? Saya jawab, anda jangan mundur. Sebagai pembawa panji-panji Masyumi jangan mengulangi kesalahan Natsir. Tetap di kekuasaan, kecuali dikeluarkan. Itu akhirnya dia tidak mau mundur. Fuad Bawazier juga demikian. Ketika terjadi peralihan dari Soeharto ke Habibie. Tinggal beberapa orang menteri yang bertahan. Sehingga Fuad banyak yang mencaci maki macam-macam. Saya bilang, jangan tinggalkan, isi terus tapi anda jangan melarut dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Ia pegang itu, ia tidak keluar sehingga uang negara selamat. Coba kalau ia keluar uang negara bisa habis. Walau dia dicaci maki kas cendana, macam-macam.

Kekuasaan itu harus kita ambil. Di situlah dihadapkan apakah kita kuat, seperti kata Pak Natsir dulu, kalau umat Islam dihadapkan banjir, gunung berapi meletus, kebakaran, dan lain-lain masih bisa bertahan, tapi kalau dihadapkan pada harta, tahta dan wanita banyak yang tergoda. Ini jelas terbukti.

Tapi kalau kekuasaan itu tidak diisi oleh kita, oleh alumni ya jatuh pada orang lain. Lebih parah lagi kita. Posisi itu adalah setengah kemenangan. Kalau kita menduduki satu posisi, kita tidak perlu membuang terlalu banyak tenaga dan macam-macam untuk memperjuangkan cita-cita. Dalam menyikapi kekuasaan kita harus, teguh dalam prinsip, luwes dalam penerapan karena kita juga berhadapan dengan orang lain. Kalau kita sendirian enak. Tapi, kita bersama orang lain yang ingin memegang kekuasaan untuk kepentingan mereka.

Dengan kekuasaan jangan kita phobia. jangan dianggap pragmatisme dan lain-lain. Kalau kita tidak mau, justru itu yang ditunggu-tunggu orang supaya kita lepas. Mereka bisa manfaatkan dengan gerakan kristenisasi, macam-macam itu. Nah, kita jaga ini supaya jangan sampai jatuh. Kalau perlu kita kuasai, seluruhnya. Tapi, tetap dalam kerangka amar ma’ruf nahi mungkar. Cuma apakah alumni bisa bertahan dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, itu yang jadi pertanyaan. Jadi bukan pragmatismenya yang didahulukan, tapi bagaimana agar kekuasaan itu tidak jatuh ke orang lain. Sebab kekuasaan itu bisa digunakan untuk kepentingan politik yang merugikan umat Islam.

Ada tradisi di HMI DIPO yang sulit dinalar. Untuk menjadi Ketua Umum PB HMI di kongres katanya sekarang harus siap uang Rp 1 Milyar. Sementara di HMI MPO sama sekali tidak ada tradisi ini. Belum tradisi kekerasan seperti yang terjadi di Kongres Palembang kemarin. Tanggapan anda?
Ini saya pun mengeluh tentang HMI DIPO. Tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Saya sudah masuk training dimana-mana. Ternyata banyak hal-hal yang tidak sesuai. Formalnya tidak begitu, tapi informalnya ada. Itulah yang mau kita berantas. Maka yang merusak HMI itu ya kandidat-kandidat ketua umum itu. Makanya saya kemarin teriak-teriak itu. Kalau menganggap HMI DIPO jelek, tidak semua benar. Kalau pun dianggap jelek, HMI MPO masuk memperbaiki. Jangan hanya di luar pagar, masuk ke dalam kalian. Tapi masih banyak yang ingin murni. Kalau MPO ingin masuk dengan niat perjuangan murni melakukan perubahan, bagus, akan saya dukung.

Saya akui memang ada tradisi kekerasan dan uang. Kalau itu dianggap kelemahan dan memang kelemahan, ya MPO perbaiki. Masuk ke dalam jangan berada di luar sistem. Ini juga kesalahan MPO ketika pertama kali didirikan. Mengapa harus mendirikan HMI tandingan. Lebih baik masuk ke dalam, lalu perbaiki. Coba kalau Tamsil Linrung masuk, Egi Sudjana masuk ke arena kongres, perbaiki itu apa yang kurang. Mereka hanya membuat pernyataan. MPO tidak mengakui kepemimpinan Hari Azhar Asis. Mengapa tidak mengakui, dia pilihan kongres. Akhirnya yang terjadi HMI ada menjadi dua.

Anda tidak mengakui keberadaan HMI MPO, kenapa islah menjadi penting bagi anda?

De yure tidak kita akui, de facto HMI MPO itu ada. Apapun namanya, ishlah ataupun rekonsiliasi, harus itu. Tidak ada jalan lain. Kembalinya bersatu dua organisasi menjadi satu jamaah, satu organisasi dan satunya imam. Itu yang harus dicapai. Tidak ada yang lain, yang ingin dicapai.

Kita harus memiliki kesadaran akan pentingnya persatuan demi masa depan. Yang kita lihat itu ke depan, jangka panjang, bukan jangka pendek. Dari berpikir panjang Lafran Pane, kita mewarisi HMI masa kini. Generasi besok jangan kita warisi hal-hal yang tidak baik, kalau kita masih pecah belah, belum bersatu. Sudah 22 tahun, karena keterangan saudara-saudara anda, mungkin ada yang benar, mungkin ada yang tidak benar sepenuhnya. Maka yang saya sayangkan tadi, masa berproses 22 tahun. Terlalu lama.

Menurut saya bagus tindakan Sahrul sebagai ketua umum PB HMI MPO. Saya anggap positif. Tamsil Linrung pernah saya kirimi surat, kalau anda bisa menyatukan HMI, namamu akan saya catat dalam tinta emas HMI. Kamu adalah pahlawan dari Timur.

Menurut Tamsil, dia menyadari bahwa langkah yang ditempuh oleh MPO salah. Dia ngomong dengan saya, sudah lama. Termasuk Egi Sujana, termasuk MS Ka’ban. Ka’ban menganggap HMI MPO itu bukan HMI lagi. Itu ada dalam buku saya ‘44 indikator kemunduran HMI’ yang saya tulis. Dalam buku tersebut saya sebutkan juga penyebab kemunduran HMI, salah satunya karena dualisme HMI.

Saya tahu betul perbedaan waktu HMI jaya dan HMI mengalami kemunduran. 44 indikator itu bukan pengalaman satu dua bulan, 3 bulan 10 th, tapi 45 tahun. Saya masuk HMI 15 September 1963. Tidak pernah sejenak pun hingga detik ini.

26 Agustus 2008

BERAGAMA TANPA KESALEHAN SOSIAL



Selama kurang lebih satu dakade berjalan, demokrasi liberal di Indonesia mencetuskan signifikansi yang tak sederhana terhadap kehidupan beragama (baca: beragama Islam). Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap segenap upaya yang dikerahkan demi menyemarakkan kehidupan beragama di Tanah Air, ada catatan kritis yang harus dikemukakan secara jujur. Bahwa, atmosfer demokrasi liberal yang pada akhirnya mewarnai tata kelola masyarakat dan pemerintahan telah melahirkan situasi keberagamaan tanpa kesalehan sosial. Ternyata, keniscayaan untuk menyelesaikan perkara pelik ini sejalan dengan masih besarnya harapan agar nilai-nilai luhur agama mampu memberi sumbangan pada lahirnya kebudayaan dan peradaban humanistik-transendental. Maka, dengan sendirinya, memang harus ada keterbukaan menerima kritik-kritik tajam terhadap realisme beragama tanpa kesalehan sosial. Pemaparan berikut ini merupakan potret terhadap fenomena beragama tanpa kesalehan sosial.
Pertama, substansi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1428 Hijriah di Masjid Agung An-Nur, Pekanbaru, Riau, 11 Agustus 2007, menyinggung persoalan besar beragama tanpa kesalehan sosial. Kata SBY dalam pidatonya itu, kegiatan keagamaan yang makin marak diharapkan menjadi jalan yang baik untuk menata kehidupan individu dan kasalehan sosial. Atas dasar ini, menurut SBY, Indonesia sebagai bangsa berkesempatan luas melanjutkan proses perjalanan menuju pada pelataran kehidupan yang lebih baik. Dengan kesalehan sosial pula, maka fondasi iman dan takwa, kebesaran jiwa, dan kesucian nurani dalam kehidupan, mampu melahirkan pandangan yang optimistis menatap masa depan (Kompas, 12 Agustus 2007, hlm. 1).
Seandainya keberagamaan benar-benar menciptakan resultan positif berupa kesalehan sosial, mungkinkah Presiden SBY merasa perlu melontarkan pernyataan seperti mengemuka di Masjid An-Nur itu? Jawabnya sangat jelas. “Kesalehan sosial” telah sedemikian rupa mengkristal semata sebagai nomenklatur lantaran kesadaran beragama telah kehilangan sukma transformatifnya. Kesadaran beragama bangsa ini berhenti sekadar sebagai pemanis kata untuk pencitraan di hadapan orang banyak. Keberagamaan kita bukanlah titik tolak terciptanya kehidupan yang lebih baik pada tingkat kolektif berlandaskan kuatnya penguasaan akan ilmu pengetahuan. Itulah mengapa, Indonesia sebagai bangsa makin compang-camping eksistensinya.
Kedua, perkembangan berbagai segi kehidupan pada fase demokrasi liberal yang kini kian teralienasi dari misi profetik agama justru berlangsung pada level perilaku. Tegaknya keadilan dan kemakmuran di muka bumi merupakan cita-cita luhur yang diusung oleh agama (lihat Al-Qur’an, 4:135, 6:115, 7:8, 6:29, 6:159, 6:181, 16:76 dan 57:25). Namun sebagai sistem nilai, misi profetik tegaknya keadilan itu tergerus oleh intrusi pragmatisme, materialisme dan hedonisme dalam berbagai tindakan praksis.
Tragisnya, semua perkara ini dikamuflase oleh semarak kegiatan agama. Maka, jangan heran jika figur-figur birokrat dan politikus yang diidentifikasi sebagai koruptor, justru secara repetitif melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, ke Makkah dan Madinah. Jangan heran pula jika kaum selebriti yang menjadi simbol dekadensi moral itu tiba-tiba memperlihatkan dirinya sebagai kaum bertakwa selama bulan suci Ramadan. Inilah gambaran tentang paradoks keagamaan di Tanah Air. Sebagai konsekuensinya, mustahil berharap bakal muncul keadilan dan kemakmuran di muka bumi dari cara hidup beragama semacam itu. Malah, inilah akar sesungguhnya bagi munculnya problema beragama tanpa kesalehan sosial. Apa yang kemudian penting ditegaskan dari kenyataan itu adalah semarak kehidupan beragama yang tak serta-merta berimplikasi pada kuatnya upaya-upaya mandiri—disertai kejujuran yang mendalam—untuk melakukan koreksi diri.
Ketiga, kecenderungan untuk menafsirkan secara sempit pesan-pesan keagamaan semata sebagai kerangka psiko-terapi penyelesaian masalah kemanusiaan, justru melahirkan sejumlah pertanyaan tentang misi profetik agama itu sendiri. Seorang tokoh yang tak henti-hentinya berbicara tentang Manajemen Qalbu, misalnya, hanya mendorong semarak kehidupan beragama pada upayaupaya pembersihan hati pada tingkat individual. Pada waktu bersamaan, upaya ini menegasikan kaharusan pembersihan sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dari ketamakan dan kerakusan yang mengambil titik tolak dari dominasi dan hegemoni. Dengan fokus pada psiko-terapi, agama direduksi perannya dalam hal membangun kesadaran kritis terhadap kejahatan sistem.
Kepincangan inilah yang kemudian menggulirkan pesona individual kepada tokoh pencetus Manajemen Qalbu. Semarak kehidupan beragama lantas gagal mendorong timbulnya reformasi dan reformulasi sistem kehidupan. Apa boleh buat, kesalehan sosial yang didengungkan berpijak pada kesadaran purba dalam beragama: pembersihan hati manusia yang tak memiliki hubungan organik dengan strukturalisme sosial, ekonomi dan politik.
Tak bisa dipungkiri, kesalehan sosial melekat pada metode pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan. Mulia tidaknya tindakan manusia diverifikasi sebagai kelanjutan logis dari kesadaran beragama. Jika agama berbicara tentang korupsi sebagai nista yang terkutuk dan meluluhlantakkan kemanusiaan, maka semarak kehidupan beragama merupakan gerakan total eliminasi kultur dan jejaring kekuasaan yang korup. Sayangnya, keberagamaan merupakan unikum yang berdiri di luar tindakan praktis. Seorang yang sangat taat beribadah serta-merta lalu dikenal kencang bergerak di jalur korupsi. Pada satu sisi, perasaan tak bersalah lantaran telah menumbuhsuburkan korupsi memiliki simbolisasinya yang begitu mencolok. Pada sisi lain, pemberian karitas untuk keperluan pembangunan rumah-rumah ibadah serta penyantunan anak yatim piatu dan kaum fakir miskin nyata-nyata menggunakan uang dari hasil korupsi. Bukankah ini berarti telah timbul kekacauan konseptual dalam mempersambungkan peribadatan agama dan tindakan praktis?
Tentu, fenomena beragama tanpa kesalehan sosial harus ditemukan sebab fundamentalnya pada antropologisme manusia Indonesia. Ketika keberagamaan terjebak ke dalam narsisme, maka ritualitas yang semula ditengarai sakral terjerembab ke dalam problema besar kekosongan makna.
Pada akhirnya, praksis peribadatan tak lebih hanyalah pemenuhan terhadap tuntutan yang bersifat legalistik formal. Narsisme inilah yang dalam kerangka konseptual Islamic studies disebut riya’ dan ujub. Kita menemukan di sini keberagamaan manusia yang penuh pamrih, karena diabdikan untuk melakukan pemujaan terhadap diri sendiri.
Keberagamaan lalu bukan kepasrahan agung dengan disertai oleh pengorbanan diri demi tegaknya humanisme yang transendental. Narsisme telah menyeret keberagamaan manusia Indonesia pada cara pikir kalkulatif-matematis menurut takaran pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Maka, keberagamaan manusia Indonesia mutlak untuk dibersihkan dari tendensi narsisme. Gagal menyikat habis narsisme, sama saja maknanya dengan membuka koridor luas bagi pengejawantahan lebih lanjut beragama tanpa kesalehan sosial. Dengan kata lain, kian terang benderang problema beragama tanpa kesalehan sosial, tatkala narsisme mengutuhkan diri sebagai tindakan yang berulang-ulang.
Sebab fundamental lainnya timbulnya masalah beragama tanpa kesalehan sosial adalah tumpang tindihnya kepentingan oleh determinasi material. Jujur harus dikatakan, semarak kehidupan beragama kian dikooptasi oleh logika kapitalistik. Televisi, sedemikian rupa berkembang sebagai medium komunikasi perluasan semarak kehidupan beragama. Sayangnya, medium komunikasi ini hadir dengan membawa serta determinasi material karena harus menyesuaikan diri dengan logika kapitalisme. Tak bisa tidak, dakwah keagamaan lantas bergeser menjadi semacam komoditas. Itulah mengapa semakin tak ada kedalaman perspektif pada dakwah kegamaan di televisi. Para juru dakwah yang biasa manggung di televisi malah kemudian bermetamorfosis menjadi selebriti. Agama sebagai kesadaran kritis untuk meniadakan kebodohan dan keterbelakangan lalu kehilangan kedigdayaannya pada totalitas medium penyiaran televisi.
Problema beragama tanpa kesalehan sosial lalu menjadi kian tak terbendung di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di planet bumi ini. Sejurus dengan itu, Indonesia pun tetap stagnan sebagai negara bangsa yang korup dan terbelakang.? [ANWARI WMK]